JAKARTA - Pemandangan tak biasa tersaji pada peringatan Hari Buruh Nasional 1 Mei 2025. Presiden Prabowo Subianto hadir langsung di tengah ribuan buruh yang memadati kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta. Ia menyapa dan berbicara di hadapan massa—sebuah gestur yang terakhir kali dilakukan presiden Indonesia hampir enam dekade silam.
Momen ini seketika mengingatkan publik pada 1 Mei 1965, ketika Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, berdiri di panggung dan menyampaikan pidato untuk menyemangati kaum pekerja. Sejak saat itu, tak ada lagi kepala negara yang hadir langsung dalam peringatan Hari Buruh. Kehadiran Prabowo hari ini pun menjadi catatan penting dalam sejarah hubungan antara pemerintah dan pekerja.

Jejak Panjang Hari Buruh di Indonesia
Perjalanan Hari Buruh di Indonesia penuh dinamika. Pada masa awal kemerdekaan (1945–1965), perayaan 1 Mei berlangsung meriah. Serikat buruh besar seperti SOBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia) aktif mengorganisasi aksi-aksi besar. Kala itu, pemerintah Soekarno relatif terbuka terhadap gerakan buruh, meskipun juga tak lepas dari kepentingan politik.
Namun, suasana berubah drastis di era Orde Baru (1966–1998). Di bawah Presiden Soeharto, Hari Buruh dilarang dirayakan karena dianggap berbau komunisme dan dekat dengan ideologi kiri. Buruh tak lagi bebas berserikat. Pemerintah membentuk SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) sebagai satu-satunya serikat resmi yang dikendalikan negara. Tanggal 1 Mei tetap menjadi hari kerja biasa tanpa aksi demonstrasi.
另请阅读:
Baru setelah Reformasi 1998, gerakan buruh kembali menemukan tempatnya. Serikat-serikat independen bermunculan, seperti KSPI dan KSBSI. Tuntutan pun meluas, dari sekadar upah layak menjadi isu-isu yang lebih kompleks: jaminan sosial, sistem outsourcing, hingga kritik terhadap regulasi seperti Omnibus Law.
Puncaknya pada 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional mulai tahun 2014. Sejak itu, peringatan Hari Buruh dirayakan lebih luas dan terbuka: mulai dari aksi damai, parade, hingga panggung hiburan.
Kini, Hari Buruh bukan lagi sekadar soal upah. Ia telah menjadi panggung besar untuk menyuarakan berbagai kepentingan pekerja dalam dunia kerja modern. Di tengah dinamika regulasi dan tekanan global, kehadiran Presiden Prabowo di tengah buruh hari ini memberi isyarat: negara kembali membuka ruang dialog langsung dengan para pekerja.
Yang Terlupakan di Hari Buruh: Buruh-buruh Bayangan Tak Demo Tapi Selalu Kerja
Pagi belum benar-benar terang ketika, sebut saja Siti (39 tahun) mulai menyapu halaman rumah majikannya di kawasan elite Jakarta Selatan. Ia hanya sempat menyesap secangkir teh sebelum berangkat dari kontrakan sempit di pinggir kota. Sejak sepuluh tahun lalu, ia menjadi buruh rumah tangga—bekerja enam hari dalam seminggu, 10 jam sehari, tanpa kontrak, tanpa jaminan.
“Kalau sakit, ya tidak digaji. Kalau dipecat, ya selesai,” kata janda yang memiliki dua anak yang masih sekolah.

Siti adalah satu dari jutaan pekerja informal yang tak pernah masuk hitungan perayaan Hari Buruh. Ia tak berdiri di barisan demonstrasi, tak tergabung dalam serikat, dan tak pernah masuk hitungan dalam kebijakan ketenagakerjaan negara. Ia—seperti jutaan lainnya—adalah buruh bayangan: mereka yang menopang ekonomi dari pinggiran, tanpa sorotan.
Dalam praktik dan regulasi di banyak negara (termasuk Indonesia), posisi Siti tidak selalu dilindungi secara penuh oleh undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku untuk buruh formal. Karena itu, muncul dorongan agar PRT diakui secara resmi sebagai pekerja yang berhak atas perlindungan hukum, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang layak
Mereka tidak membawa poster di Hari Buruh. Tak berdiri di depan gedung DPR. Tapi mereka ada—di balik piring bersih, rumah wangi, makanan cepat sampai, dan mobil bersih setiap pagi. Buruh-buruh ini tak punya hari libur nasional. Tanggal merah hanyalah hari biasa, kadang justru hari paling sibuk.
Dan meskipun mereka menyumbang tenaga besar dalam roda ekonomi—menggantikan negara dalam pelayanan publik, menopang logistik harian, dan menjaga kenyamanan rumah tangga kelas menengah—nama mereka tak pernah dicatat dalam regulasi. Tak ada Undang-Undang yang menyebut mereka secara jelas. Tak ada forum yang memperjuangkan suara mereka.
Hari Buruh, bagi mereka, hanyalah hari kerja biasa. Tak ada panggung, tak ada apresiasi, tak ada selebrasi. Bahkan kadang, tak tahu bahwa hari itu seharusnya hari untuk menghargai kerja mereka.
Namun, dari bayangan dan pinggiran, mereka tetap bekerja. Tetap menopang. Tetap hidup. Sebab bagi buruh-buruh bayangan ini, pengakuan mungkin tak pernah datang dari negara—tapi mereka tahu, tanpa mereka, kota tak pernah berjalan.
RUU PPRT: Harapan yang Terus Tertunda
Sudah lebih dari dua dekade, wacana mengenai Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) terus bergulir, tapi tak kunjung disahkan. Padahal, undang-undang ini dinilai penting untuk melindungi jutaan pekerja rumah tangga (PRT) yang selama ini bekerja tanpa payung hukum yang memadai.
RUU PPRT dirancang untuk memberikan perlindungan hukum kepada PRT, kelompok pekerja yang sering kali berada dalam posisi rentan terhadap kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan pemutusan kerja sepihak. Selama ini, belum ada aturan khusus yang mengatur hak dan kewajiban PRT serta pemberi kerja secara adil dan setara.
Beberapa poin penting dalam RUU PPRT mencakup definisi hukum mengenai PRT dan pemberi kerja, keharusan adanya perjanjian kerja tertulis, pengaturan jam kerja, upah layak, hak cuti, perlindungan dari kekerasan, akses terhadap jaminan sosial, hingga pembentukan lembaga pengawasan dan penyelesaian sengketa.
Namun, sejak pertama kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2004, RUU ini selalu tertunda pembahasannya. Terakhir, pada 2023, Presiden ke-7 Joko Widodo telah memerintahkan para menterinya untuk mempercepat pengesahan RUU yang telah ‘mangkrak’ selama 19 tahun tersebut. Meski begitu, hingga kini belum juga ada kejelasan kapan RUU ini akan disahkan.
Mengutip laman resmi DPR RI, RUU PPRT bertujuan untuk melindungi PRT dari berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran hak. Dalam praktik sehari-hari, masih sering dijumpai kasus PRT yang bekerja tanpa kejelasan beban kerja, waktu kerja yang berlebihan, tanpa upah yang layak, tanpa jaminan sosial, hingga tak mendapat perlindungan ketika mengalami kekerasan dari pemberi kerja.

Janji Jantan Presiden Prabowo !
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan komitmen parlemen untuk menjadi jembatan aspirasi buruh kepada pemerintah. Dasco juga mengungkapkan pentingnya menjaga kekompakan dari semua elemen bangsa mulai dari tingkat yang paling bawah hingga eksekutif guna menghadapi tantangan ekonomi global. Ia menyebut Presiden Prabowo Subianto sebagai sosok yang aspiratif dan terbuka terhadap masukan dari serikat pekerja.
"Presiden justru mendorong agar upah dinaikkan. Beliau bahkan minta dihitung bukan hanya 6,5 persen, tapi sampai 10 persen,” ujar Dasco dalam forum silaturahmi bersama federasi serikat pekerja yang digelar di Gedung Nusantara IV, Jakarta, Rabu, 30 April.
Pernyataan Dasco terbukti dengan hadirnya Presiden Prabowo Subianto di tengah aksi ratusan ribu buruh di peringatan buruh internasional. Presiden Prabowo Subianto mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) bakal segera dikebut. Ia berjanji pengesahan bakal dilakukan sekitar tiga bulan. "Kita akan segera meloloskan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga," kata Presiden Prabowo di atas mimbar di hadapan ratusan ribu buruh yang melakukan aksi di Hari Buruh Internasional.
Prabowo mengaku sudah mendengar dari Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad rancangan beleid ini segera dibahas. Sehingga, pengesahan rancangan perundangan yang mandek selama 20 tahun itu bisa dilakukan dalam waktu singkat.
"Minggu depan RUU ini segera dibahas. Mudah-mudahan tidak lebih dari tiga bulan undang-undang ini bisa kita bereskan," sambung dia.
Selain itu, Prabowo juga sudah menyiapkan hadiah lain untuk para buruh. Di antaranya, dengan membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan Satuan Tugas (Satgas) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). "Mana regulasi yang enggak benar, mereka memberikan masukan kepada saya dan segera kita perbaiki. Bila perlu, tidak ragu-ragu kita negara akan turun tangan," tegas Presiden Prabowo.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)