Jangan Bungkam Suara Kritis Pers Indonesia!

25 April 2025, 11:00 | Tim Redaksi
Jangan Bungkam Suara Kritis Pers Indonesia!
Foto Ilustrasi Luthfiah VOI

Bagikan:

JAKARTA – Hari sial pastinya tidak ada dalam kalender, itulah istilah yang mesti dialami oleh Marcella Santoso (MS) selaku advokat, Junaedi Saibih (JS) merupakan seorang dosen, dan Tian Bahtiar (TB) yang berprofesi sebagai wartawan dengan jabatan Direktur Pemberitaan JAKTV. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus perintangan penyidikan maupun penuntutan (obstruction of justice).

Penangkapan ketiganya, seperti panggung yang mewah untuk kejaksaan! Panggung yang membuat nama kejaksaan seakan melejit ke langit seperti roket dan meninggalkan para kompetitornya KPK dan Polri. Namun menangkap insan pers tanpa koordinasi ke dewan pers sama saja langgar aturan yang disusun oleh undang-undang. Kejagung seakan sadar tengah menjadi sorotan semua mata insan pers dan buru-buru menghapus langkah salah selanjutnya yang akan menuai kritik pedas dengan mendatangi dewan pers.

Kejagung menyerahkan sejumlah dokumen terkait kasus dugaan perintangan penyidikan melalui narasi negatif yang dilakukan oleh TB, kepada Dewan Pers. Penyerahan dilakukan langsung oleh Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejagung di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis, 24 April. Harli menyebutkan, sebanyak 10 bundel dokumen yang diserahkan. Namun, dia enggan mengungkap isi dari dokumen-dokumen tersebut. "Biarkan Dewan Pers bekerja dulu. Nanti mereka yang akan menilai dan menyampaikan hasilnya," katanya.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyambut langsung penyerahan dokumen tersebut. Dia dan timnya akan segera mendalami isi dokumen untuk menelusuri kemungkinan adanya pelanggaran etik jurnalistik yang diduga dilakukan Tian Bahtiar. Ninik menegaskan hasil penyelidikan ini nantinya akan dikoordinasikan kembali dengan Kejagung. "Begitu dokumen kami terima, kami langsung bekerja hari ini juga," ujar Ninik.

Usai ditetapkan sebagai tersangka, Tian Bahtiar (TB) harus menerima kenyataan pahit atas penonaktifan alias pemecatan dirinya dari media JAKTV. Keputusan tersebut dibuat atas kesepakatan seluruh manajemen JAKTV.

Direktur Operasional JAKTV, Sony Soemarsono mengatakan, keputusan ini dilakukan bertujuan agar TB bisa fokus menjalani proses hukum yang sedang dilaluinya di Kejagung.

“Kami harap semua pihak, termasuk Pak Tian, dalam penanganan kasus ini dapat bersikap kooperatif menjalani proses hukum yang sedang berjalan. Tentu kami pun mendoakan yang terbaik bagi yang bersangkutan,” jelas Sony dikutip dari laman resmi JAKTV, Rabu, 23 April.

Mendukung Pemberantasan Korupsi tapi Jangan Asal Tangkap

Penangkapan serta penetapan tersangka Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar yang kini tak lagi menjabat menjadi sorotan para wartawan yang bergabung dalam organisasi kewartawanan. Seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang mempertanyakan dasar penetapan status tersangka tersebut.

Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan mempertanyakan langkah penangkapan Kejagung terhadap Tian Bahtiar tanpa melalui prosedur. Menurut Herik, informasi atau pemberitaan yang bersifat kritis merupakan bagian dari kerja pers dan fungsi kontrol sosial yang dijamin oleh undang-undang. “Jika yang menjadi dasar penetapan tersangka adalah produk pemberitaan, maka Kejaksaan Agung seharusnya terlebih dahulu berkoordinasi dengan Dewan Pers," katanya Herik saat dihubungi VOI, Kamis, 24 April.

Herik menambahkan jika prosedur tidak digunakan dan tidak dijunjung tinggi, IJTI mengkhawatirkan bahwa langkah ini dapat menjadi preseden berbahaya yang bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjerat jurnalis atau media yang bersikap kritis terhadap kekuasaan. "Ini akan menciptakan iklim ketakutan dan menghambat kemerdekaan pers,” tegas Henrik.

Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun (VOI)

Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun (VOI)

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, Hendry Ch Bangun menegaskan organisasinya sangat mendukung penuh langkah Kejaksaan Agung dalam mengusut tuntas perkara tindak pidana korupsi tata niaga timah maupun tata niaga gula. PWI sangat mendukung pemberantasan korupsi. Namun begitu, PWI menolak penetapan tersangka terhadap wartawan hanya karena konten jurnalistik atau berita yang dianggap "negatif". "Pers punya hak menyampaikan kritik sebagai bagian dari fungsi kontrol sosial," kata Hendry CH Bangun kepada VOI dalam pesan tertulisnya.

Hendry pun berpendapat sama jika suatu berita dianggap menyudutkan atau beritikad buruk, penyelesaiannya melalui hak jawab atau penilaian etik oleh Dewan Pers. Bukan lewat penangkapan. Dia menjelaskan penilaian terhadap apakah suatu berita melanggar etik hanya bisa dilakukan oleh Dewan Pers, bukan lembaga lain. Ini dijamin oleh Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999.

Dewan Pers, dan Polri telah membuat MoU dan Perjanjian Kerja Sama (PKS). Isinya: aparat hukum wajib minta pendapat Dewan Pers dulu sebelum memproses secara pidana karya jurnalistik. Menyampaikan kritik atau narasi alternatif bukan perintangan hukum, tapi bagian dari hak pers untuk mengontrol kekuasaan.

Hendry menegaskan bila ada dana yang masuk ke rekening pribadi, itu harus diklarifikasi ke kantor media yang bersangkutan. "Jika ada bukti suap terkait berita, harus Dewan Pers yang memutuskan pelanggaran etik dan menyerahkan sanksi ke pelaku kepada pimpinan perusahaan media. Dan, kepada wartawan bisa dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlalku di tempatnya bekerja," tegas pria berkaca mata ini.

PWI berharap Kejaksaan Agung bersikap bijak dan patuh pada UU Pers. Seperti dikatakan Presiden Prabowo Subianto saat hadir di Sekretariat PWI, pers adalah bagian penting dalam demokrasi.

Penyataan yang sama juga disampaikan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ). Koordinator KKJ, Erick Tanjung mengungkapkan, para insan pers merasa khawatir adanya kasus ini serta tindakan Kejagung.

"Publikasi pemberitaan media yang dinilai digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai alat untuk merintangi dan menghalangi proses hukum tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi para jurnalis, perusahaan media serta kelompok masyarakat sipil lainnya. Penghalangan proses hukum harus merupakan tindakan secara langsung/material menghalangi penyidikan, penuntutan dan persidangan,” ujarnya.

Menurutnya, pemberitaan, opini publik, penyampaian pendapat di muka umum jelas bukanlah tindakan perintangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. “Fokus atau tidaknya konsentrasi penyidik akibat membaca pemberitaan media dan penilaian masyarakat dalam kinerja penanganan perkara jelas tidak berhubungan dengan penyidikan dan penuntutan, juga tidak menghalangi penyidikan dan penuntutan. Kami melihat terdapat kesewenang-wenangan kekuasaan di sini,” lanjut Erick.

Penegakkan Hukum Tidak Boleh Asal Tabrak

Ketua Umum DPN Peradi, Luhut MP Pangaribuan menjelaskan, dalam menjalankan tugas profesinya, advokat dilindungi oleh Pasal 14, 15, dan 16 UU Advokat serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana apabila bertindak dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

ilustrasi Penegakkan Hukum Tidak Boleh Asal Tabrak (Ist)
ilustrasi Penegakkan Hukum Tidak Boleh Asal Tabrak (Ist)

Jika terdapat dugaan pelanggaran etika atau hukum oleh seorang advokat dalam menjalankan tugasnya, maka institusi yang berwenang untuk menilai dan memproses dugaan tersebut adalah Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Ditambah lagi, Kejagung tidak berkoordinasi dengan Peradi sejak melakukan penahanan serta penetapan status tersangka terhadap rekan sejawatnya tersebut.

“Sebagai sesama penegak hukum, Kejaksaan Agung semestinya menjalin koordinasi dengan Dewan Kehormatan Peradi sebelum mengambil langkah hukum terhadap seorang advokat yang sedang menjalankan profesinya. Mekanisme ini bukan hanya menjunjung tinggi supremasi hukum, namun juga menjaga keseimbangan relasi antar-lembaga penegak hukum sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum,” katanya dalam keterangan tertulis.

Peradi juga menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam penerapan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi atau tipikor. Pasalnya, ketentuan tersebut memiliki perbedaan konseptual dengan Pasal 25 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006.

“Peradi mengingatkan bahwa upaya penegakan hukum tidak boleh menabrak prinsip dasar perlindungan terhadap profesi hukum yang sah,” ujar Luhut.

Pentingnya Azas Praduga Tak Bersalah

Eko Nugroho selaku Praktisi Hukum turut menanggapi penahanan rekan seprofesinya tersebut. Dia bilang, apa yang dilakukan oleh JS dan MS merupakan pembelaan terhadap klien melalui jalur media.

“Apakah bila kami mengundang wartawan kemudian mengeluarkan pers rilis tentang pembelaan kasus klien kami dapat dikenakan pasal perintangan penyidikan? Padahal yang kami suarakan itu benar-benar pembelaan atas kasus yang dialami klien kami dan tidak menyudutkan pihak tertentu?” tanyanya.

Ilustrasi Azas Praduga tak Bersalah (IST)
Ilustrasi Azas Praduga tak Bersalah (IST)

“Selama belum ada putusan pengadilan yang menyatakan klien itu bersalah maka statusnya masih diduga atau disangka, dan berhak melakukan pembelaan diri. Selama belum divonis hakim, dalam diri seseorang tersebut melekat azas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence. Dimana dalam azas praduga tidak bersalah itu adalah prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap,” jelas Eko.

Kata Eko, prinsip ini menjamin bahwa setiap individu memiliki hak untuk diperlakukan tidak bersalah hingga ada bukti kuat yang menunjukkan sebaliknya. Karena posisinya masih dinyatakan tidak bersalah, maka advokat boleh menyuarakan pembelaannya di media.

“Untuk jalan keluarnya, perlu diatur secara jelas, dalam pasal perintangan penyidikan tersebut, apakah bila seorang praktisi hukum itu melakukan konpers atau membuat statemen tentang pembelaan kliennya di media, apakah diperbolehkan atau dilarang,” ujarnya.

OSZAR »