Bagikan:

JAKARTA – Pengamat politik UIN Walisongo Semarang, Kholidul Adib menilai bahwa rencana pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di semua desa di tanah air berpotensi disalahgunakan menjadi alat elektoral partai politik.

Pasalnya, pemerintah tidak melarang kader parpol menjadi pengurus koperasi tersebut.

“Bisa saja KDMP seperti halnya Koperasi Unit Desa yang menjadi alat politik di era Orde Baru. Kan aneh juga, koperasi tapi kok top-down? Bukan bottom-up atau dari aspirasi bawah. Perlu kita jaga supaya KDMP bersih dari anasir-anasir politik. Saya setuju pengurus parpol dilarang menjadi pengurus atau pengelola KDMP biar lebih steril,” ujarnya, Minggu, 25 Mei.

Sebelumnya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Budi Arie Setiadi mengatakan keanggotaan KDMP bersifat terbuka. Kader parpol pun boleh menjadi anggota koperasi selama terbukti berdomisili di desa tempat koperasi itu berada.

Rencananya, KDMP akan diluncurkan secara nasional pada 28 Oktober 2025. Pemerintah menyiapkan anggaran sekitar Rp400 triliun untuk pembentukan KDMP. Anggaran itu digunakan untuk modal awal 80.000 koperasi.

Selain Kemenkop-UKM, program KDMP juga berada di bawah supervisi Kementerian Kordinator bidang Pangan yang dipimpin Zulkifli Hasan dan Kementerian Desa yang dipimpin Yandri Susanto, di mana keduanya merupakan politikus PAN.

Kholid khawatir KDMP sedang dirancang menjadi mesin politik oleh parpol-parpol tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Apalagi, Presiden Prabowo Subianto juga berkepentingan untuk membangun jaringan politik hingga akar rumput untuk persiapan Pilpres 2029.

“Kita tahu presidential threshold nol persen. Semua bisa maju. Koalisi jangka panjang makin sulit dipertahankan. Jadi, penguasaan akar rumput menjadi sangat penting. KDMP potensial disalahgunakan sebagai mesin pendulang suara yang efektif,” ungkapnya.

Dia menegaskan, karena rentan korupsi dan politisasi, program KDMP harus diawasi ketat dengan melibatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Harus ada regulasi yang tegas. Pemerintah perlu mengatur batas keterlibatan politisi aktif dalam program strategis agar tidak tumpang tindih dengan kepentingan elektoral,” kata dia.

Selain itu, warga desa tempat koperasi berada juga harus dididik agar melek politik sehingga bisa membedakan antara program parpol dan pemerintah.

“Diberikan pemahaman tentang hak-hak mereka sebagai warga negara dan bagaimana membedakan program publik dengan kampanye politik,” kata Kholid.