JAKARTA – Komunikasi politik yang cenderung blak-blakan, bahkan kadang dianggap niretika makin sering dipertunjukkan sejumlah pejabat Indonesia. Pernyataan para pejabat publik belakangan ini tak lepas dari komunikasi Presiden Prabowo Subianto yang dianggap kasar.
Sejak dilantik pada Oktober tahun lalu, Kabinet Merah Putih yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi sorotan. Mulanya hanya karena disebut sebagai kabinet paling gemuk sejak era Orde Baru karena berisi 48 menteri dan 56 wakil menteri. Itu masih ditambah lima kepala badan.
Seiring berjalannya waktu, publik juga menyorot gaya komunikasi para pejabat, bahkan termasuk Prabowo sendiri. Presiden Prabowo pernah berujar ‘ndasmu’ dalam pidatonya di acara puncak HUT Partai Gerindra di Sentul, pada 15 Februari.
Dalam bahasa Jawa, ‘ndasmu’berarti kepala kau. Dalam konteks tertentu kata ini bisa terdengar kasar atau merendahkan karena ini merupakan ekspresi ketidakpercayaan, sindiran, atau ejekan.
Bermula dari Ndasmu
Kata ‘ndasmu’ itu dilontarkan Prabowo Subianto saat menanggapi kritik terhadap program Makan Bergizi Gratis atau MBG yang merupakan salah satu janji kampanyenya.
“Negara kita sangat besar. Sudah kita mulai sekian ratus orang, masih ada yang komentar belum banyak. Kalau enggak ada wartawan, saya bilang ndasmu,” ujar Prabowo.
“Ada orang pintar bilang, kabinet ini gemuk, terlalu besar... ndasmu,” ucapnya lagi, untuk merespons kritik terhadap susunan kabinet yang dinilai tidak efisien.
Tapi gaya komunikasi nyeleneh seperti ini tidak hanya dilakukan Prabowo, tetapi juga sejumlah pejabat publik lain.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan pernah melontarkan kalimat “kau yang gelap!” untuk merespons tagar #IndonesiaGelap, yang dibuat sebagai kritik masyarakat terkait kondisi negara yang kian sulit.

Gaya komunikasi agak lain juga ditunjukan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan terkait tagar #KaburAjaDulu pada pertengahan Februari lalu.
Immanuel mempersilahkan masyarakat yang ingin pergi dari Indonesia. Namun ia mengimbau mereka yang pergi tidak kembali lagi ke Tanah Air. “Mau kabur, kabur ajalah. Kalau perlu jangan balik lagi,” begitu kata Immanuel.
Baru-baru ini, dua nama pejabat publik sedang menjadi sorotan. Pertama adalah Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi dan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana.
Hasan Nasbi terkesan nirempati saat dimintai komentar oleh sejumlah wartawan mengenai teror kepala babi di kantor redaksi Tempo. Ia mempertanyakan kebenaran teror kepala babi dengan mengatakan, “Apakah itu beneran atau cuma jokes?” sebelum mengatakan, “Dimasa saja, dimasak saja”.
Sementara Dadan Hindayana menyebut kekalahan Tim Nasional Indonesia di beberapa pertandingan akibat rendahnya kualitas gizi para pemain.
“Jadi jangan heran kalau PSSI sulit menang karena main 90 menit itu berat. Kenapa? Karena gizinya tidak bagus. Banyak pemain bola lahir dari kampung,” katanya.
Tunjukkan Buruknya Kapasitas Kerja
Pengamat politik dari Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan gaya komunikasi nyeleneh sejumlah pejabat publik terpengaruh oleh presiden itu sendiri. Menurut Dedi, gaya komunikasi seperti ini sangat mengerikan.
“Presiden tentu mempengaruhi lingkarannya, buruknya komunikasi Presiden direplikasi elit Istana, sehingga ini mengkhawatirkan, tidak saja soal informasi yang diterima publik menjadi buruk, tetapi bisa saja buruknya komunikasi Presiden dan lingkaran elit menggambarkan buruknya kapasitas dan kinerja,” kata Dedi saat dihubungi VOI.
Ia juga secara khusus menyoroti Hasan Nasbi yang menunjukkan ketidakpekaannya saat kantor redaksi Tempo mendapat teror. Dedi bahkan menyebut Hasan Nasbi sebagai juru bicara terburuk sepanjang sejarah.
“Hasan Nasbi gagal memahami perannya, ia seolah miliki kekuasaan untuk menyampaikan apapun dari sudut pandang pribadi, padahal seharusnya ia mengemban sudut pandan kepala pemerintah sekaligus kepala negara,” jelasnya.

Prabowo pantas memecat Hasan Nasbi sebagai bagian permohonan maaf pada publik,” kata Dedi menambahkan.
Mantan juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Dino Patti Djalal, ikut mengomentari hal ini. Ia mengatakan, sikap pemerintah menanggapi isu yang beredar di masyarakat sebagai hal penting dan krusial.
Menurut Dino, pemerintah harus bisa merebut empati publik, bukan malah memperkeruh kondisi yang menimbulkan masalah. Juru bicara, kata Dino, tidak boleh defensif atau menyalahkan ketika merespons sebuah isu.
“Menjelaskannya harus dengan alasan, argumen, dan sebagainya. Pokoknya jangan defensif,” tutur Dino.
Kepercayaan Diri Terlalu Tinggi
Pernyataan kontroversial dari sejumlah pejabat publik membuat masyarakat geleng-geleng kepala. Menurut mereka, buruknya komunikasi publik ini sejalan dengan buruknya kinerja dan kapasitas mereka.
Analis politik Hendri Satrio menjelaskan tiga pola komunikasi yang buruk dari pejabat pemerintah yang terus berulang. Pertama, kepercayaan diri para pejabat terlalu tinggi pada masa-masa awal jabatan dengan sisa-sisa euforia kemenangan saat Pemilihan Presiden 2024.
Kedua, menurut Hendri, para pejabat tidak lagi peka terhadap penderitaan yang dialami rakyat. Pernyataan yang dilontarkan para pejabat publik terkesan tidak sensitive dan kehilangan rasa empati.
“Rasanya itu hilang. Sebagai pejabat, mereka tidak lagi mengerti rakyat saat ini sedang apa,” imbuh pria yang akrab disapa Hensat ini.
Terakhir, Hendri juga sepakat dengan anggapan bahwa pernyataan anak buah Prabowo mengikuti gaya komunikasi sang presiden secara mentah-mentah tanpa menyesuaikan dengan kondisi yang ada di masyarakat. Contohnya ketika presiden mengatakan ‘ndasmu’ yang disambut tawa.
BACA JUGA:
“Kalau ada menteri atau jajarannya bilang ndasmu, itu jadi masalah. Cara-cara komunikasi presiden tidak bisa disamakan dengan bawahan,” katanya.
Hendri menegaskan, pola komunikasi politik pemerintah yangburuk harus segera diakhiri. Karena kalau fenomena ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin menghambat jalannya program-program pemerintahan Prabowo.
Jembatan komunikasi antara negara dan warganya harus segera ditanggulangi supaya tidak makin melebar. Pejabat publik harus belajar menyampaikan pesan dengan jelas, apalagi soal isu yang sensitif.
“Sesuai dengan konteks agar kepercayaan rakyat tak makin terkikis,” ujar Hendri lagi.