Bagikan:

JAKARTA – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Komnas HAM menilai rangkaian teror yang menimpa jurnalis Tempo dan keluarganya sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers. Mereka menekankan pentingnya mekanisme perlindungan bagi jurnalis yang menghadapi intimidasi.

Wakil Ketua LPSK, Sri Suparyati, menyatakan bahwa jurnalis merupakan bagian dari pembela hak asasi manusia (HAM) karena perannya dalam meningkatkan kesadaran publik dan mendukung penegakan hukum. Oleh karena itu, perlindungan terhadap mereka sangat penting.

"LPSK telah menerima permohonan perlindungan dari dua orang, yaitu satu reporter dan satu petugas keamanan Tempo," kata Sri pada Kamis, 27 Maret.

Saat ini, LPSK tengah melakukan asesmen untuk menilai tingkat ancaman dan menentukan langkah perlindungan yang diperlukan, termasuk perlindungan fisik, hukum, hingga kemungkinan relokasi. LPSK juga berkomitmen mengawal kasus ini hingga tuntas serta memberikan dukungan psikologis dan perlindungan hukum bagi jurnalis, terutama jurnalis perempuan yang menjadi target teror.

Rangkaian Teror

Berdasarkan informasi awal dari LPSK, teror terhadap jurnalis Tempo tidak hanya berupa pengiriman kepala babi dan bangkai tikus. Sebelumnya, telah terjadi perusakan mobil, ancaman digital melalui peretasan dan penyebaran data pribadi (doxing), serta teror terhadap keluarga dalam bentuk pengiriman paket misterius dan ancaman melalui telepon.

Untuk menindaklanjuti kasus ini, LPSK dan Komnas HAM telah bertemu dengan Kabareskrim pada Rabu (26/3) guna membahas langkah konkret dalam penyelidikan dan penguatan perlindungan bagi jurnalis yang menghadapi ancaman serius.

"Kami berharap aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan mendalam dan menangkap pelaku teror. Tindakan tegas diperlukan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan," tegas Sri.

Sinergi Perlindungan Jurnalis

Wakil Ketua LPSK, Wawan Fachruddin, menambahkan bahwa perlindungan terhadap jurnalis memerlukan kerja sama berbagai pihak, termasuk Dewan Pers, Komnas HAM, Komnas Perempuan, serta aparat penegak hukum.

"LPSK telah melakukan pertemuan dengan Komnas HAM dan Komite Keselamatan Jurnalis untuk membahas strategi perlindungan yang lebih komprehensif," ujarnya.

Selain itu, LPSK dan Komnas HAM telah merancang mekanisme respons cepat bagi pembela HAM, termasuk langkah preventif seperti pengamanan fisik, pemenuhan hak prosedural, dan relokasi jika diperlukan.

"Kekerasan berbasis gender online yang dialami jurnalis perempuan, baik secara personal maupun terkait pekerjaannya, perlu menjadi perhatian serius. Perlindungan yang holistik sangat diperlukan," tambahnya.

Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis

Sejak 2021 hingga 2024, LPSK mencatat ada 21 permohonan perlindungan dari jurnalis. Kasus yang mereka alami beragam, mulai dari pengeroyokan, pembakaran rumah, penganiayaan, hingga perusakan barang.

Beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis yang pernah terjadi di Indonesia meliputi:

Pembunuhan wartawan di Karo, Sumatera Utara

Pelemparan bom molotov ke kantor redaksi Jubi di Papua

Kekerasan terhadap jurnalis Tempo di Surabaya

Intimidasi terhadap jurnalis di Halmahera Selatan

Dalam kasus-kasus tersebut, LPSK memberikan perlindungan berupa pengamanan fisik, pendampingan saat persidangan, pemenuhan hak prosedural, bantuan biaya hidup sementara, hingga fasilitasi restitusi bagi korban.

Dengan meningkatnya ancaman terhadap jurnalis, LPSK menegaskan pentingnya perlindungan yang lebih kuat agar kebebasan pers tetap terjaga dan kejadian serupa tidak terulang di masa depan.