Memori Soeharto Diusung Jadi Pahlawan Nasional

JAKARTA - Citra Soeharto sebagai pemimpin Indonesia penuh dinamika. Ia pernah membawa ekonomi Indonesia bertumbuh. Pembangunan digelorakan di mana-mana. Namun, kontroversinya tak kalah banyak. Ia terkenal represif. Rezimnya korup bukan main.

Publik pun terbelah jadi dua kubu. Kubu yang mendukung dan kubu yang mengecam. Perdebatan itu kian hangat kala Soeharto yang telah tiada didorong mendapatkan gelar pahlawan nasional. Berkali-kali namanya diajukan, Berkali-kali pula mental.

Tiada yang meragukan eksistensi Soeharto di era Perang Revolusi. Ia ikut mengangkat senjata melawan penjajah Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Nama Soeharto kian populer kala dirinya dianggap andil dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

Soeharto pun terus mengabdi pada bangsa dan negara. Puncaknya, nama Soeharto kembali populer kala ia mengambil alih kekosongan kekuasaan dalam TNI Angkatan Darat menumpas Gerakan 30 September (G30S) 1965. Ia mampu memadamkan api pemberontakan.

Soeharto bahkan melanjutkan aksinya dengan menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diyakini sebagai dalang G30S. Citra itu jadi modal penting Soeharto saat naik jadi Presiden Indonesia dan membangun rezim Orde Baru (Orba). Ia mampu mengatasi krisis ekonomi peninggalan rezim Soekarno.

Poster Presiden Kedua Indonesia, Soeharto yang pernah menghiasi sudut-sudut kota di Indonesia. (ANTARA)

Ia membuat ekonomi Indonesia meningkat. Pembangunan berlangsung di mana-mana. Indonesia jadi surplus bahan pangan. Segenap prestasi itu kian masyhur setelah Soeharto tiada pada 27 Januari 2008. Keinginan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional muncul di antara pendukungnya -- Golkar utamanya.

Mereka menyadari benar Soeharto baru meninggal dunia. Momentum itulah yang dianggap tepat untuk menyusun agenda supaya Soeharto bisa didorong jadi pahlawan nasional. Mereka menganggap Soeharto sudah memiliki semua persyaratan untuk jadi pahlawan nasional.

"Untuk itu saya nanti dengan Pak Haryono Suyono yang juga masuk dalam tim (tim pemberian gelar kehormatan) akan memperjuangkan untuk itu. Untuk kepentingan itulah bangsa Indonesia juga telah mengalami perjalanan sejarah yang tak terlupakan.”

“Dalam kondisi pemerintahan yang terpuruk, Letkol Soeharto merancang dan melancarkan serangan umum ke sejumlah markas dan pos pertahanan tentara Belanda di dalam kota Yogya, tanggal 1 Maret 1949. Dihantam dalam serangan dadakan, pasukan Belanda pimpinan Kolonel Van Langen, kocar-kacir. Mereka hanya bisa bertahan, meminta bala bantuan ke Magelang dan Semarang,” ungkap Basyuni sebagaimana dikutip laman Kemenag, 1 Maret 2009.

Penolakan Soeharto Jadi Pahlawan

Tiada yang meragukan peran Soeharto dalam sejarah perjalanan bangsa. Soeharto memang berperan sebagai pemimpin yang telah membentuk arah bangsa Indonesia selama 32 tahun. Namun, kepemimpinan Soeharto tak mulus-mulus saja.

Jejak borok kepemimpinannya terpampang di mana-mana. Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang represif. Banyak pelanggaran HAM terjadi di era pemerintahannya. Apalagi, The Smiling General tak pernah menghendaki adanya yang mengganggu pemerintahan. Mereka yang menganggu akan disikat.

Belum lagi urusan rezim Soeharto yang korup. Bagi-bagi jabatan. Suap sana suap sini. Semua borok itu mengganjal jalan Soeharto diangkat sebagai pahlawan nasional. Gelora penolakan kepada gelar Soeharto menggema ke mana-mana.

Macam-macam alasan dikemukakan. Ada yang menganggap Soeharto tak memenuhi ketentuan soal integrasi moral dan keteladanan. Elite politik dari berbagai partai macam Partai Demokrat hingga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pernah menolak keinginan supaya Soeharto jadi pahlawan.

Mereka sepakat Soeharto belum layak jadi pahlawan nasional. Ada juga yang beranggapan bahwa Soeharto terhitung baru meninggal dunia. Biasanya pahlawan yang dianggap sudah lebih dulu meninggal dunia bertahun-tahun.

Narasi itu membuat Soeharto terus menerus gagal ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Berkali-kali diusung, berkali-kali pula ditolak. Asa menjadikan Soeharto yang kontroversial sebagai pahlawan nasional tak pernah pupus. Harapan itu kembali muncul kala Prabowo Subianto jadi Presiden Indonesia sedari 2024.

"Gelar Pahlawan untuk Soeharto masih prematur karena klarifikasi politik atas peranannya dalam berbagai peristiwa politik dan kekerasan sistematis belum pernah dilakukan. Alhasil, tidak pernah akan diperoleh fakta obyektif atas kepahlawanan Soeharto."

"Karena posisinya yang demikian, maka selalu akan timbulkan kontroversi setiap upaya glorifikasi atas Soeharto, salah satunya dengan menjadikannya sebagai pahlawan nasional. Termasuk dalam peristiwa 'kudeta' atas Soekarno, berbagai pelanggaran HAM dan korupsi. Klarifikasi politik ini dipilih karena tidak mungkin lagi melakukan proses hukum atas Soeharto karena kehilangan subyek," ujar Ketua Setara Institute, Hendardi sebagaimana dikutip laman ANTARA, 10 November 2015.